Rabu, 01 November 2017

Saatnya Media Belajar Waras

Ya Tuhan, aku cinta akun ini!
@noffret


Di Twitter, ada akun baru yang segera menarik banyak pengikut, bernama @ClickUnbait. Seperti namanya, akun itu tampaknya bermaksud memerangi clickbait yang saat ini telah menjadi masalah sekaligus penyakit sebagian media di Indonesia, khususnya media yang eksis di internet.

Saat saya pertama kali mengikuti akun tersebut, jumlah pengikutnya masih 300-an. Saat ini, jumlah pengikut @ClickUnbait telah mencapai 23 ribuan. Padahal, kalau tak keliru, akun tersebut baru berumur dua minggu. Fakta itu menggembirakan, karena secara tak langsung memberitahu bahwa masih banyak pembaca berita di Indonesia yang waras.

Keberadaan akun @ClickUnbait yang secara frontal memerangi media-tukang-clickbait bisa menjadi pressure bagi media-media agar mulai belajar waras, agar tidak lagi “menipu” pembaca dengan judul-judul tak relevan. Di sisi lain, akun @ClickUnbait juga secara tak langsung mendidik para pengikutnya untuk membedakan mana berita yang layak baca, dan mana berita yang bernilai sampah.

Sebelum saya ngoceh panjang lebar, ada baiknya kita ketahui dulu apa itu clickbait, agar orang-orang yang mungkin belum paham bisa mengikuti isi catatan ini, juga memahami kenapa praktik clickbait yang dilakukan media-media di internet harus diperangi.

Mari kita lihat penjelasan atau definisi clickbait di Wikipedia (saya transkrip secara utuh):

“Umpan klik (clickbait) adalah suatu istilah peyoratif yang merujuk kepada konten web yang ditujukan untuk mendapatkan penghasilan iklan daring, terutama dengan mengorbankan kualitas atau akurasi, dengan bergantung kepada tajuk sensasional atau gambar mini yang menarik mata guna mengundang klik-tayang (click-through) dan mendorong penerusan bahan tersebut melalui jejaring sosial daring. Tajuk umpan klik umumnya bertujuan untuk mengeksploitasi "kesenjangan keingintahuan" (curiosity gap) dengan hanya memberi informasi yang cukup membuat pembaca penasaran ingin tahu, tetapi tidak cukup untuk memenuhi rasa ingin tahu tersebut tanpa mengklik pada tautan atau pranala yang diberikan.”

Penjelasan itu mungkin terlalu normatif, dan ada kemungkinan sebagian orang masih bingung. Jadi, izinkan saya menjelaskan lebih gamblang, hingga bisa dipahami anak SD sekali pun.

Pertama, mari kita lihat media-media daring di internet, seperti Tempo.Co, Beritagar.Id, Kompas.Com, Merdeka.Com, Tirto.Id, Tribunnews.Com, Detik.Com, Kapanlagi.Com, dan semacamnya. Apa persamaan mereka? Benar, sama-sama media yang menyuguhkan berita!

Situs-situs atau media-media tersebut menyuguhkan berita untuk para pembaca. Berita dan artikel didapat dari para wartawan atau para pekerja yang menulis di situs-situs tersebut. Untuk hal itu, tentu saja, perusahaan pemilik masing-masing situs harus membayar para pekerja, selain juga membayar biaya server, dan lain-lain, terkait operasional situs. Artinya, agar situs dapat terus hidup, mereka harus mendapat uang!

Umumnya, situs di internet mendapat pemasukan melalui iklan komersial. Umumnya pula, iklan tersebut berbentuk banner yang terpasang di sisi (kanan/kiri) artikel, di bawah, di atas, dan lain-lain. Iklan-iklan itulah yang memberi pemasukan pada masing-masing situs, hingga dapat membayar para pekerja dan biaya operasional. Dalam proses itu, tentu saja, masing-masing perusahaan pemilik situs juga ingin untung—semakin besar semakin bagus.

Terkait iklan yang terpasang, ada beragam pembayaran yang diperoleh situs. Dua yang paling populer adalah “bayar per klik” dan “bayar per tampilan”. Artinya, jika ada pengunjung situs yang mengklik iklan, situs akan memperoleh bayaran (dari si pemasang iklan). Atau, semakin banyak halaman situs yang dibuka pengunjung, semakin besar pula bayaran yang mereka terima.

Dan... well, dari situlah asal usul clickbait dimulai.

Para pemilik situs di internet menyuguhkan berita untuk pembaca/pengunjung. Mereka mempekerjakan para wartawan atau jurnalis untuk mencari dan menulis berita. Dalam hal itu, pemilik situs harus membayar/menggaji mereka, termasuk membayar biaya operasional. Untuk mendapat pemasukan, situs memasang iklan komersial. Selain untuk menggaji para wartawan dan membiayai operasional, juga untuk menangguk keuntungan.

Sampai di sini, mereka pun bertanya-tanya, “Bagaimana cara agar pemasukan dari iklan bisa sebesar mungkin?”

Bagi media yang memiliki integritas, pertanyaan itu memacu mereka untuk berpikir kreatif. Hasilnya, mereka menyuguhkan konten atau artikel yang lebih baik dari rata-rata situs lain, atau memperbanyak artikel dengan cara positif, sehingga pengunjung mendapat lebih banyak bacaan.

Dalam hal itu, media berpikir kreatif, “Jika pengunjung puas, mereka akan senang berlama-lama.” Dan jika pengunjung berlama-lama di sebuah situs, artinya akan ada banyak laman yang dibuka, akan ada banyak artikel yang dibaca, akan ada iklan yang diklik, dan tingkat bounce-rate akan membaik, yang hasil akhirnya akan meningkatkan tarif iklan di situs bersangkutan. Kesimpulannya; pengunjung senang, pemilik situs juga untung.

Sebaliknya, bagi media yang tidak berintegritas, pertanyaan di atas juga memacu mereka untuk berpikir “kreatif”. Sama-sama kreatif, tapi dalam tanda kutip. Biasanya, yang mereka lakukan adalah membuat judul-judul bombastis yang tidak relevan (tidak nyambung dengan isi berita, atau menyesatkan pembaca), sampai memecah suatu artikel/berita dalam beberapa halaman, padahal berita itu relatif pendek. Diakui atau tidak, itu praktik tercela dalam jurnalisme daring.

Judul-judul yang tidak relevan, atau menyesatkan pembaca—itulah yang disebut clickbait! Tujuannya agar kau penasaran, lalu mengklik tautan berita yang kaulihat.

Karena judulnya sudah menipu, ada kemungkinan kau akan merasa tertipu setelah membaca isi beritanya, dan merasa telah membuang waktu secara sia-sia. Tapi situs bersangkutan tidak mau tahu. Bagi mereka, yang penting kau mengklik tautan yang mereka sodorkan. Soal kau puas atau tidak, bodo amat! Yang penting situs mereka dikunjungi, artikel mereka dibaca, dan persetan denganmu!

Sudah mulai paham yang disebut clickbait?

Mengenai seperti apa judul-judul berita yang tidak relevan (yang bisa disebut clickbait), contohnya banyak sekali. Karena nyaris setiap situs berita di Indonesia kadang (sebagian malah sering) menggunakan. Karenanya, saya akan mati bosan kalau harus menuliskan contoh-contohnya di sini. Agar lebih mudah, silakan pelototi timeline akun @ClickUnbait di Twitter. Judul-judul berita yang “dibantai” di sana rata-rata judul yang tidak relevan alias clickbait.

Masih terkait judul, ada pula sebagian situs yang tampaknya merasa perlu memasukkan opini ke dalam judul, meski hal semacam itu sebenarnya salah. Contohnya juga banyak sekali, dan bisa ditandai dengan kata sifat yang subjektif dari si penulis berita. Misal:

Miris! Wanita Ini Bla-bla-bla
Menyedihkan, Negara Ini Bla-bla-bla
Ironis, Ternyata Pria Ini Serigala Berbulu Teman
Mengharukan! Sepasang Kucing Ini Bla-bla-bla
Membanggakan, Indonesia Sekarang Bla-bla-bla


Semua contoh judul itu salah! Wartawan hanya bertugas mewartakan. Soal apakah isi beritanya miris, menyedihkan, mengharukan, membanggakan, ironis, dan lain-lain, itu hak pembaca untuk menilai dan menentukan. Karena itulah, salah satu kode etik wartawan adalah objektif. Sementara judul-judul di atas justru subjektif, karena memasukkan opini. Dalam konteks pemberitaan media daring, praktik semacam itu bisa digolongkan clickbait.

Yang lebih gila, ada judul-judul kontemporer yang sangat asu. Biasanya, judul sangat panjang, diakhiri kalimat sok tahu. Misal:

Inilah 10 Hal yang Diam-diam Dilakukan Pasanganmu Saat Kamu Tidur, Nomor 8 Akan Membuatmu Salto Hingga Patah Tulang!

Atau;

Inilah 9 Hal yang Membuat Cewek Menangis, Nomor 6 Akan Membuatmu Mimisan Sambil Guling-guling!

Judul keparat apa itu? Okelah, orang mungkin bisa menulis tentang “9 hal yang membuat cewek menangis”. Itu ilmiah, dan bisa diterima akal sehat. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa “nomor 6 akan membuatmu mimisan sambil guling-guling”? Biasanya, artikel berjudul “9 Hal” semacam itu akan dipecah menjadi 9 halaman, agar pembaca terus melakukan klik.

Judul dan praktik seperti itu benar-benar parah. Dalam konteks clickbait, itu bahkan layak disebut simbahnya clickbait!

Well, selain judul yang tidak relevan, praktik tercela yang juga dilakukan sebagian situs berita di internet adalah “memecah satu artikel dalam beberapa halaman”. Saya perlu ngemeng khusus soal ini, agar tidak ada yang salah paham.

Ada kalanya, suatu situs menerbitkan artikel yang sangat panjang. Sebut saja, artikel itu mencapai 10 halaman ketika ditulis di MS Word. Ketika artikel panjang semacam itu diunggah ke situs, bisa jadi hasilnya sangat panjang, dan pembaca harus melakukan scroll berkali-kali untuk membaca artikel seutuhnya. Pada beberapa kasus, artikel yang sangat panjang bisa membuat proses loading tidak lancar, khususnya jika situs bersangkutan menggunakan server yang tidak bagus. Hasil akhirnya, pengunjung/pembaca bisa terganggu atau tidak nyaman.

Untuk mengantisipasi hal semacam itu, ada situs-situs yang berpikir untuk memecah artikel panjang menjadi 2 atau 3 halaman. Tujuannya untuk membuat pembaca lebih nyaman—baik saat membuka halaman, maupun saat membaca artikel bersangkutan. Dalam hal ini, bisa dibilang tidak masalah, dan kita menghargai itikad baik situs bersangkutan yang memang bertujuan membuat pengunjung nyaman.

Tetapi, ada pula situs-situs tertentu yang benar-benar bangsat! Mereka memecah artikel hingga beberapa halaman, tapi bukan bertujuan membuat pengunjung nyaman. Sebaliknya, yang mereka lakukan justru membuat pengunjung tidak nyaman!

Saya sering mendapati berita di suatu situs, yang memuat artikel pendek (atau tak seberapa panjang) tapi dipecah hingga 3, 4, 5, bahkan kadang sampai 9 halaman. Padahal, artikel itu sangat pendek! Sebegitu pendek, hingga masing-masing halaman hanya memuat satu atau dua paragraf! Itu benar-benar parah! Yang lebih parah, berita yang dipecah dalam beberapa halaman itu tidak penting-penting amat—biasanya hanya berita yang sekadar membuat pembaca penasaran!

Dalam konteks yang sedang kita bicarakan, praktik memecah satu artikel pendek dalam beberapa halaman semacam itu disebut clickbait. Yaitu upaya “memaksa” pengunjung/pembaca untuk terus melakukan klik dan klik, yang tujuannya keuntungan bagi situs bersangkutan. Karena itu pula, rata-rata situs yang melakukan praktik tercela semacam itu biasanya memiliki iklan sangat banyak, hingga satu klik membutuhkan waktu loading lama, akibat banyaknya iklan. Itu benar-benar memboroskan waktu pembaca secara sia-sia.

Well, sekarang kita paham apa yang disebut clickbait, dan bagaimana sebagian media sengaja “memanipulasi” pembaca melalui (judul-judul) berita yang mereka suguhkan. Itulah kenapa praktik semacam itu harus diperangi. Karena menjadikan media-media mandul (tidak kreatif, atau kreatif dengan cara yang salah), sekaligus menyesatkan pembaca, dan membuang waktu pembaca secara sia-sia.

Sudah saatnya media-media belajar dan berbenah untuk menulis dan menyuguhkan berita secara waras, yang mendidik dan mencerdaskan pembaca, bukan malah sebaliknya. Juga sudah saatnya bagi kita untuk mampu memilah dan memilih mana yang layak dibaca, serta mana yang patut dibuang. Karena membaca sesuatu yang tidak memberi manfaat hanya membuang-buang waktu, energi, biaya, serta umur kita.

Karena clickbait seperti lintah—mereka mengisap hidup kita, tanpa kita sadari. Mereka mendapatkan keuntungan dari pengisapan yang mereka lakukan, sementara kita tak mendapat apa pun, selain waktu dan energi yang terbuang.

 
;