Mohon tunggu...
Indira Abidin
Indira Abidin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pengalaman vs Sukses

9 Desember 2016   16:38 Diperbarui: 9 Desember 2016   17:15 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ilmu dan pengalaman menjadi musuh terbesar keberhasilan kita.

Dalam sebuah perusahaan konsultan, pernah ada dua jenis pimpinan. Satu Bu Maria, seorang mantan direktur di perusahaan sebelumnya. Sangat pintar, sangat jago dan sangat menguasai bidang yang jasanya diberikan oleh perusahaan konsultan tersebut. Satunya lagi Bu Asima, yang tidak punya pengalaman yang persis seperti yang diberikan jasanya oleh perusahaan tersebut, tapi ia punya semangat belajar luar biasa.

Bu Maria memerintah dengan tangan besi. Karena ia tahu semuanya, maka ia tak pernah mau mendengar masukan dari mereka yang dipimpinnya. Bahkan klien-klien perusahaan tersebut pun seringkali dianggapnya tidak sepintar dirinya. Ia menentukan berbagai kebijakan berdasarkan pendapatnya sendiri. Ia menilai semua orang berdasarkan standard yang dimilikinya.

Bu Asima yang tak terlalu menguasai urusan teknis dari layanan perusahaan, belajar dari sebanyak-banyaknya orang, termasuk mereka yang dipimpinnya. Meskipun tak menguasai secara teknis, kemampuan manajerial dan kepemimpinannya ternyata membuatnya mampu memenangkan hati klien dan team nya.

Bu Maria yang pintar ternyata tak mampu bertahan lama di perusahaan tersebut. Team yang dipimpinnya tak mendukungnya, target nya pun tak berhasil dicapainya. Sebaliknya Bu Asima yang tak sepintar Bu Maria, berhasil bertahan cukup lama, mampu mendorong kemajuan perusahaan tempatnya bekerja.

Inilah contoh di mana pengalaman dan pengetahuan menjadi musuh terbesar dalam kesuksesan kita. Merasa pintar membuat kita memandang rendah orang lain, enggan belajar dan tak mendatangkan dukungan. Pimpinan yang merasa sudah pintar tak mau lagi membuka telinga, mata, dan pikiran untuk ide-ide baru, belajar hal-hal baru dan tumbuh bersama teamnya.

Padahal industri sekarang berkembang sangat pesat. Apa yang baik kemarin belum tentu baik saat ini. Pengetahuan dan pengalaman kita bisa jadi sudah kadaluwarsa dalam menghadapi tantangan yang ada. Team yang lebih turun kelapangan mungkin lebih faham kondisi dan kebutuhan, tapi sikap sok tahu membuat mereka yang tahu malas memberi masukan dan berdiskusi.

Begitu kita merasa paling pintar sedunia, maka kemampuan coaching kita pun akan melemah, karena kita akan gatal untuk terus menerus memberikan nasehat, mengatakan apa yang harus team lakukan, dan bukan menggali kemampuan dan sumber daya yang mereka punya. Makin kita merasa paling jago, maka kita menjadi orang hanya karna mengandalkan kita, dan bukan mencoba mengandalkan dirinya. Dan saat instruksi kita salah, dan nasehat kita keliru, maka beban 100% ada di kita, karena team tak mau mengambil ownership atau tanggung jawab yang dari awal tidak diberikan pada mereka.

Marilah kita coba dengar kalimat-kalimat kita sendiri, seringkah kita mengatakan,

“Sudah tahu.”

“Sudah saya jalankan semua.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun