,

Hutan Adat itu Supermarketnya Orang Iban Sungai Utik

Tak seperti biasa, sejak pagi suasana rumah panjang (rumah adat) Iban Sungai Utik tampak sibuk. Tak ada aktivitas masyarakat adat di luar rumah dengan 28 pintu itu. Mereka berkumpul di ruang pertemuan untuk sebuah ritual adat tolak bala.

Ragam makanan dan minuman pun tersaji. Bahan baku kuliner khas Iban ini diperoleh dari hutan di sekitar rumah adat. Sajian sederhana, tapi mengandung makna kebersamaan.

Selain masyarakat adat penghuni rumah panjang, hadir pula sejumlah perwakilan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka berasal dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat, Rainforest Foundation Norway (RFN), dan People Resources and Conservation Foundation (PRCF).

Di depan pintu bilik bernomor 16, seorang lelaki tampak duduk bersila. Wibawa lelaki itu seperti embun pagi yang turun di Sungai Utik. Raut wajahnya dingin, namun tetap bersinar.

Wajahnya yang mulai mengeriput menjadi tanda bahwa usia telah menggerogotinya. Apalagi rambut dan janggutnya yang sudah didominasi warna putih. Dia membisu santai dengan dada terbuka. Berbagai motif tato menghiasi tangan, pangkal lengan, dan lehernya. Bagian belakang tubuhnya pun berhias tato.

Lelaki itu tak lain adalah Bandi, tuai (kepala) rumah panjang Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Bandi dikenal dengan sebutan Apay Janggut (Pak Janggut).

Dia takzim mengikuti ritual hingga selesai. Sejurus kemudian, Apay Janggut beranjak dari duduknya. Sejumlah barang ia masukkan ke ladong (keranjang anyaman) miliknya. Tak ketinggalan sebilah parang yang masih terselip di warangkanya ia raih. “Ayo kita ke hutan adat,” katanya memberi aba-aba.

Pelataran rumah panjang Iban menjadi salah satu sarana bermain bagi anak-anak. Foto: Andi Fachrizal
Pelataran rumah panjang Iban menjadi salah satu sarana bermain bagi anak-anak. Foto: Andi Fachrizal
Masyarakat adat Sungai Utik bergotong royong membakar pulut (ketan) di dalam bambu untuk persiapan ritual adat. Foto: Andi Fachrizal
Masyarakat adat Sungai Utik bergotong royong membakar pulut (ketan) di dalam bambu untuk persiapan ritual adat. Foto: Andi Fachrizal

Kala itu, Kamis (23/4/2015), matahari tepat bertengger di ubun-ubun. Apay Janggut memutuskan bertolak ke hutan adat Iban Sungai Utik. Segala kebutuhan sudah ia persiapkan untuk menempuh perjalanan kaki selama dua hingga tiga jam.

Dalam usia yang kian merambah senja, Apay Janggut tetap kokoh.Tak sedikit pun terlihat rasa lelah di perjalanan. Jalan setapak yang panjang dan berliku, pendakian yang terjal dan licin, bukan rintangan baginya untuk tetap mengayunkan langkah.

Hampir sepanjang jalan, lelaki 84 tahun itu menjelaskan berbagai jenis tumbuhan yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat adat Iban sehari-hari, baik sebagai sayur-mayur maupun obat-obatan. “Ini daun kedadai,” katanya sambil menunjukkan jenis tumbuhan di sepanjang jalan setapak.

Daun kedadai dimanfaatkan masyarakat Iban sebagai sayuran. Daun itu merupakan ramuan khas bagi ibu-ibu menyusui. Fungsinya menambah air susu ibu (ASI) agar si bayi tetap dapat asupan bergizi.

Sekitar dua jam berjalan kaki, Apay Janggut tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia mencoba menyeruak di antara semak belukar yang dihimpit pepohonan raksasa. Selaksa menyingkap tirai, Apay Janggut menunjukkan aliran Sungai Utik yang tenang dari ketinggian puluhan meter.

“Ke sini, dan lihat ke bawah. Air yang mengalir itu adalah darah kami. Airnya bersih dan memberi kami kesehatan agar bisa bekerja untuk melanjutkan hidup. Itu yang kami minum sehari-hari,” katanya sambil menunjuk ke arah sungai yang jernih dan tenang.

Dari bantaran Sungai Utik, Apay Janggut juga menjelaskan bahwa tanah yang ditumbuhi pepohonan purba dan berdiameter raksasa ini adalah dagingnya masyarakat Iban.

“Tanah yang subur ini memberi kami kehidupan. Sedangkan udara yang kita hirup sekarang, adalah nafas hidup orang Iban. Tidak ada polusi. Udara kami segar. Ini salah satu alasan kenapa kami menjaganya,” katanya sambil melanjutkan perjalanan menuju titik batas antara hutan sekunder dengan hutan primer milik masyarakat Iban Sungai Utik.

Apay Janggut memperlihatkan aliran Sungai Utik dari ketinggian puluhan meter. Foto: Andi Fachrizal
Apay Janggut memperlihatkan aliran Sungai Utik dari ketinggian puluhan meter. Foto: Andi Fachrizal
Masyarakat adat Iban Sungai Utik menjaga pasokan air melalui hukum-hukum adat. Foto: Andi Fachrizal
Masyarakat adat Iban Sungai Utik menjaga pasokan air melalui hukum-hukum adat. Foto: Andi Fachrizal

Matahari perlahan condong ke barat. Di ujung hutan sekunder itu, berdiri sebuah bangunan terbuat dari kayu. Bangunan permanen ini didirikan oleh Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) dan AMAN Kalimantan Barat. Awalnya, tempat tersebut bekas lokasi penempaan besi atau parang. Oleh masyarakat, pondok itu kemudian diberi nama Lubuk Rupon.

Ini menjadi pilihan satu-satunya untuk beristrahat. Tapi Apay Janggut malah tak segera melepas dahaga. Dia masih menebas semak di halaman pondok, sambil memetik buah terong asam untuk persiapan lauk malam hari. Jelang maghrib, dia baru melangkah naik ke pondok seraya mengumbar senyum.

“Apa yang saya tunjukkan tadi adalah fakta bahwa kami punya hutan yang tetap terjaga sejak ratusan tahun lalu. Kami memanfaatkan hutan dengan hukum adat. Iban menjaga dan merawat hutan ini. Sebagian dikelola untuk ladang dan kebun karet. Selebihnya adalah hutan lindung. Tak seorang pun boleh mengganggunya,” jelas Apay Janggut.

AMAN Kalbar mencatat, total luasan areal hutan adat Iban di Sungai Utik mencapai 9.452,5 hektar. Dari total jumlah luasan itu, sekitar 6.000 hektar di antaranya merupakan kawasan lindung. Selebihnya adalah hutan kelola masyarakat adat.

Biro Ekonomi, Sosial, dan Budaya AMAN Kalbar, Agapitus, mengatakan tidak semua wilayah hutan adat dapat dikelola. “Ada kawasan yang betul-betul dilindungi,” katanya.

Kawasan lindung itu, jelas Agapitus, berfungsi untuk menjaga keseimbangan alam, agar satwa dan tumbuhan memiliki tempat untuk berkembang biak. Masyarakat adat menyebut hutan lindung sebagai sumbernya kehidupan.

“Tidak ada masyarakat adat yang menebang kayu untuk tujuan komersil. Mereka menebang di hutan kelola adat, dan untuk kebutuhan sendiri. Misalnya, untuk kebutuhan perbaikan atau pembangunan rumah. Semua sudah jelas diatur dalam hukum adat. Tidak akan ada yang berani melanggarnya,” jelas Agapitus.

Apay Janggut menunjukkan potensi tumbuhan di kawasan hutan adat Sungai Utik. Foto: Andi Fachrizal
Apay Janggut menunjukkan potensi tumbuhan di kawasan hutan adat Sungai Utik. Foto: Andi Fachrizal
Beginilah kondisi hutan adat Sungai Utik yang dijaga sangat ketat oleh masyarakat adat Iban, Kapuas Hulu. Foto: Andi Fachrizal
Beginilah kondisi hutan adat Sungai Utik yang dijaga sangat ketat oleh masyarakat adat Iban, Kapuas Hulu. Foto: Andi Fachrizal

Berjalan selaras

Kepala Desa Batu Lintang, Raymundus Remang mengaku bahwa pemerintahan desa dengan pemangku adat di Sungai Utik adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. “Pemerintahan desa ini hal baru. Justru yang melekat dalam diri kami adalah masyarakat adat,” jelasnya.

Secara administratif, Desa Batu Lintang lahir pada 25 Mei 2007 dan terdiri dari dua dusun, yakni Sungai Utik dan Pulan. Luas wilayah desa mencapai 17.453 hektar dengan jumlah penduduk per 30 Maret 2015 sebanyak 608 jiwa. Ada 308 jiwa berdomisili di Sungai Utik dan 300 jiwa lainnya di Pulan.

Untuk menata wilayah hutan adat, mereka pun mengambil kebijakan zonasi setelah pemetaan partisipatif dilakukan pada 1998. “Kita dibantu sejumlah LSM untuk memetakan wilayah hutan adat. Dari situ kita mengetahui luasan total hutan adat Sungai Utik,” katanya.

Melalui pemetaan itu pula, batas wilayah kelola masyarakat dengan hutan primer terjawab. Biasanya dengan melihat damun (bekas ladang). Orang Iban membuka lahan untuk ladang. Setelah itu, kawasan yang sudah dibuka akan ditinggalkan peladangnya dan membiarkan pepohonan tumbuhan seperti sediakala selama 15-20 tahun ke depan.

Komitmen masyarakat adat ini tetap terjaga sampai sekarang. Masyarakat dapat hidup, tumbuh, dan berkembang karena hutan dan sungai yang mengalir di sekitar kampung. Berbagai manfaat tumbuhan hutan dimanfaatkan untuk berbagai hal hidup sehari-hari.

Misalnya, kulit kayu raru’ (nama lokal), yang berfungsi sebagai obat sakit perut. Ada pula bintangor yang getahnya dijadikan sebagai obat untuk menyembuhkan kanker. Begitu pun akar-akaran, sangat banyak. “Ini salah satu kekayaan kami yang harus dijaga untuk anak cucu mendatang,” kata Remang.

Atas dasar kearifan lokal itulah, Menteri Kehutanan RI yang kala itu dijabat MS Ka’ban sudi berkunjung ke Sungai Utik. Dia datang untuk menyerahkan sertifikat ekolabel. Sebuah pengakuan yang fantastis dari komunitas berbasis adat.

Pondok peristirahatan yang diberi nama Lubuk Rupon ini terletak di antara hutan sekunder dan hutan primer masyarakat adat Sungai Utik. Foto: Andi Fachrizal
Pondok peristirahatan yang diberi nama Lubuk Rupon ini terletak di antara hutan sekunder dan hutan primer masyarakat adat Sungai Utik. Foto: Andi Fachrizal
Kekayaan alam yang ada di Sungai Utik seperti ikan dimanfaatkan masyarakat adat sebagai salah satu sumber protein. Foto: Andi Fachrizal
Kekayaan alam yang ada di Sungai Utik seperti ikan dimanfaatkan masyarakat adat sebagai salah satu sumber protein. Foto: Andi Fachrizal

Jalan panjang masyarakat adat Sungai Utik mempertahankan hutan adatnya bukan perkara enteng. Cobaan sudah mulai datang sejak 1979. Kala itu, PT. Benua Indah coba menerobos masuk ke areal hutan adat Sungai Utik. Namun perusahaan pemegang konsesi itu mendapat penolakan keras dari masyarakat adat.

Apalagi di zaman illegal logging, masyarakat Sungai Utik tetap berdiri kokoh di atas landasan adat Iban. Padahal, saat itu perputaran uang sungguh menggoda. “Kita diuji dengan uang. Tapi tidak mempan. Ini karena peran adat yang sangat kuat,” ucap Remang.

Baginya, biarkanlah keadaan seperti ini berjalan apa adanya. “Pemerintah tak perlu susah payah membangun kampung ini jika muaranya hanya akan merusak tatanan adat,” ucapnya.

Pilihannya, kata Remang, jauh lebih baik kampung ini tidak dibangun daripada hak-hak adat dirampas oleh pihak luar. “Lebih baik kita begini saja adanya. Wilayah adat aman, anak-anak bisa bersekolah, dan kebutuhan pangan tercukupi dengan berladang,” pungkasnya.

Bandi alias Apay Janggut (84), tuai (kepala) rumah panjang Sungai Utik. Foto: Andi Fachrizal
Bandi alias Apay Janggut (84), tuai (kepala) rumah panjang Sungai Utik. Foto: Andi Fachrizal
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,