Rakyat butuh obat Hepatitis C (Sofosbuvir) ditanggung oleh JKN [English Translation Below]

Rakyat butuh obat Hepatitis C (Sofosbuvir) ditanggung oleh JKN [English Translation Below]

Dimulai
21 Juni 2015
Mempetisi
Nila Moeloek (Menteri Kesehatan RI)
Kemenangan dikonfirmasi
Petisi ini membuat perubahan dengan 3.500 pendukung!

Alasan pentingnya petisi ini

Dimulai oleh Ayu Oktariani

Diperkirakan ada 7 juta rakyat di Indonesia yang terinfeksi Hepatitis C. Dari jumlah ini, 20% diantaranya akan membutuhkan pengobatan sebab Hepatitis C dalam tubuhnya akan berkembang menjadi kronis hingga sebabkan sirosis dan menyebabkan kematian. Saya yakin, teman-teman semua pasti punya orang yang dekat di hati dan sedang berjuang melawan penyakit Hepatitis C ini. Obat bagi penyakit Hepatitis C sudah ada namun harganya sangat mahal!

Saya Ayu Oktariani, perempuan HIV Positif dan juga mengidap Hepatitis C. Saya adalah ibu rumah tangga, yang aktif mengkampanyekan ODHA berhak untuk Sehat. Selama 6 tahun, saya mendapatkan akses obat ARV yang meski baru dapat menekan laju pertumbuhan virus, tapi saya dapat mengakses obat tersebut dengan mudah dan gratis. Beda persoalan dengan kondisi hepatitis C saya yang terabaikan, tidak tersentuh pengobatan, karena mahalnya harga obat yang tidak akan mampu saya akses.

Karena hal tersebut, dulu jika kalian ingat, saya pernah menggagas Petisi di Change.org untuk melawan kerakusan perusahaan farmasi Roche agar tersedia obat hepatitis jenis Pegylated Interferon yang terjangkau.  Perjuangan ini berhasil dan sekarang obat ini sudah bisa diakses dengan ditanggung oleh JKN. Saya berterima kasih atas semua dukungan teman-teman dalam petisi saya yang lalu.

Namun ternyata, Pegylated Interferon tidak bisa cocok bagi setiap orang terlebih bagi pasien yang juga terinfeksi HIV. Obat yang cara penggunaannya disuntik seminggu sekali ini, tingkat kesuksesannya cukup rendah dan juga kerap kali mendatangkan efek samping yang tidak menyenangkan di diri pasien seperti rambut rontok, depresi, imunitas menurun, sakit kepala dan semua efek samping ini mulai dari tingkat ringan sampai sangat berat.

Di tahun 2013 kemarin Biro Pengawasan Obat dan Makanan Amerika (FDA) sudah mengeluarkan ijin edar bagi obat jenis baru bagi pengobatan Hepatitis C yaitu dari jenis Direct Acting Antiviral yang nama generiknya adalah Sofosbuvir. Obat ini, berdasarkan studi klinis, menunjukan tingkat kesuksesan yang sangat tinggi guna mengobati pasien Hepatiitis C, bahkan bagi pasien yang sudah dalam tahap sirosis dan juga ko-infeksi dengan HIV.

Obat yang cara penggunaannya dengan ditelan oral ini juga terbukti memiliki tingkat efek samping yang minim bagi pasien yang mengkonsumsinya. Obat ini telah menjadi harapan baru bagi jutaan penduduk dunia dan juga 7 juta penduduk Indonesia yang terinfeksi Hepatitis C.

Sayangnya, pemilik patent obat Sofosbuvir yaitu perusahaan Gilead, menetapkan harga jual obat ini untuk total periode penuh pengobatan yang memakan waktu selama 12 Minggu sebesar US$ 84.000 (sekitar 1,1 Milyar rupiah dengan kurs 1US$ = 13.000).

Kemanjuran obat ini, serta harapan yang ditimbulkan di hati setiap pengidap Hepatiis C menjadi sirna dengan mahalnya harga obat ini. Mahalnya harga obat ini menjadi “mesin pembunuh” bagi para pengidap Hepatitis C di seluruh dunia.

Beberapa upaya untuk menegosiasikan harga obat telah berjalan. Sampai saat ini yang berhasil melakukannya adalah negara Mesir, India serta Pakistan. Saat ini obat Sofosbuvir jenis generik bisa didapatkan di tiga negara ini dengan harga berkisar antara US$ 200 – US$ 300 / botol / bulan sehingga untuk total periode penuh pengobatan selama 12 Minggu dibutuhkan biaya sekitar US 750 (sekitar 9,8 Juta rupiah dengan kurs US$ 1 = Rp 13.000).

Bandingkan versi paten harganya 1,1 milyar Rupiah sementara generiknya 9,8 juta rupiah!

Sayangnya, langkah pemerintah di ketiga negara ini untuk menegosiasikan harga tidak diikuti oleh Pemerintah Indonesia.

“Informasi yang kami dapatkan, beberapa perusahaan obat termasuk pemilik patent Sofosbuvir dan pabrik obat generik India sudah berhubungan dengan Kementerian Kesehatan untuk menegosiasikan harga. Namun negosiasi harga ini berjalan sangat tertutup dan hasilnya sampai sekarang nol besar.”

Negosiasi harga dan ditambah dengan percepatan proses pendaftaran di BPOM akan menjadi kunci penting guna menyelamatkan kematian jutaan nyawa rakyat Indonesia akibat infeksi Hepatitis C. Obat ini sudah selayaknya dipertimbangkan untuk dipercepat proses pendaftarannya serta dimasukan ke Formularium Nasional sehingga JKN bisa menanggung pengobatan penyakit Hepatitis C ini.

Karena itu saya meminta dukungan teman-teman semua untuk mempetisi Ibu Menkes @NilaMoeloek untuk:

1. Mempercepat proses pendaftaran obat Sofosbuvir di BPOM agar obat segera bisa didistribusikan.

2. Mempercepat proses negosiasi harga dengan produsen obat Sofosbuvir baik paten maupun generik menggunakan acuan harga di negara India, Mesir dan Pakistan.

3. Memasukan obat Sofosbuvir kedalam Formularium Nasional sehingga bisa ditanggung JKN.

Obat ini akan menyelamatkan nyawa jutaan rakyat Indonesia dan sudah sepantasnya pemerintahan Jokowi memperlakukan akses kepada obat murah sabagai salah satu prioritas kesehatan guna mencapai Nawacita. Merdeka dari penjajahan harga obat mahal!

Salam sayang,

Ayu Oktariani dan jutaan pasien hepatitis lainnya.

ENGLISH TRANSLATION:

More than 7 million people across the archipelago of Indonesia are infected with Hepatitis C. Out of this number, 20% need treatments to stop the disease from progressing into a chronic stage that can cause cirrhosis and can eventually lead to death.

My Name Ayu Oktariani, an HIV-positive woman and also infected with Hepatitis C. I am a housewife who is actively campaigning for “People with HIV deserve to be healthy.” For 6 years, I have been able to access ARV drugs that can suppress the growth of the virus. I am happy that I can access ARV free of charge. However, my Hepatitis C condition does not share the same story: it is neglected, untreated and the hugely expensive drug is way beyond my reach.

To resolve this condition, you may remember that a few years ago, I started a petition on Change.org to fight against the greed of Roche pharmaceutical company so that the Hepatitis C drug ‘Pegylated Interferon’ can be made available in an affordable price. It was a success. The drug is now available and provided by the national insurance programme (JKN). I am grateful for all your support for my last petition.

However, Pegylated Interferon is not suitable for all patients, especially for patients who are co-infected with HIV. The drug, which must be injected once a week, has a rather low success rate and often bring side effects such as hair loss, depression, lower immunity and mild to severe headaches. These side effects can be so severe that some patients have stopped their treatment.

In 2013, the US Food and Drug Administration (FDA) has approved a breakthrough Direct Acting Antiviral drug called Sofosbuvir. Based on clinical study, this drug has demonstrated a significantly higher cure rate for Hepatitis C patients, including patients who have reached a cirrhosis stage and co-infected with HIV.

This oral drug is proven to have very minimum side effects on patients, making it the new hope for millions of people around the world and 7 million people in Indonesia infected with Hepatitis C.

Unfortunately, Gilead, the patent holder of Sofosbuvir, has tagged the price at USD 84,000 (around IDR 1.1 billion with an exchange rate of 1 USD = IDR 13,000) for 12-week treatment course.

The outrageous price of Sofosbuvir shatters everyone’s hope to get cured of Hepatitis C . Its effectiveness is made meaningless unless the price is affordable for patients. Its high price is a huge stumbling block that stands in the way of Hepatitis C patients from all around the world.

Several attempts to negotiate the price are underway. Egypt, India and Pakistan have succeeded in negotiating the price. Today, generic versions of Sofosbuvir can be obtained in these three countries at prices ranging from USD 200 – USD 300 per bottle per month; therefore, a 12-week treatment course will only cost USD 750 (around IDR 9.8 million with an exchange rate of 1 USD = IDR 13,000.)

The patented version is IDR 1.1 billion whereas the generic version is IDR 9.8 million!

Unfortunately, the government of Indonesia is yet to follow the steps taken by the government in the three aforementioned countries.

“Based on the information we obtained, several pharmaceutical companies, including the patent holder of Sofosbuvir and an Indian generic drug company have been in contact with the Minister of Health to negotiate the price. However, the negotiation is conducted behind closed doors and the result is still a big zero.”

Negotiating the price of Sofosbuvir and expediting its registration in BPOM (Food and Drug Monitoring Agency) is key to saving the lives of millions of people in Indonesia who are infected with Hepatitis C. It is about time that this drug be taken into consideration to be included in the national formulary drug list so that the national health insurance (JKN) can cover the treatment of Hepatitis C drug.

I ask your support to petition the Minister of Health @NilaMoeloek to:

1. Expedite the registration process of Sofosbuvir in BPOM so that the drugs can be distributed as soon as possible.

2. Expedite the negotiation process with Sofosbuvir drug producers – both patented and generic versions – to refer to the pricing applicable in India, Egypt and Pakistan.

3. Include Sofosbuvir drug in the National Formulary Drug List so that it can be covered by the National Health Insurance (JKN).

This drug will save the lives of millions of Indonesian people. It is about time that Jokowi’s administration prioritise access to affordable drugs to achieve the Nawacita/the nine programs of Jokowi’s administration.

Kind regards,

Ayu Oktariani and millions of other Hepatitis C-infected patients.

 

 

Kemenangan dikonfirmasi

Petisi ini membuat perubahan dengan 3.500 pendukung!

Sebarkan petisi ini

Sebarkan petisi ini secara langsung atau gunakan kode QR untuk materimu sendiri.Unduh Kode QR

Pengambil Keputusan

  • Nila MoeloekMenteri Kesehatan RI