,

Jatna Supriatna: Kecintaan Kita pada Alam Masih Rendah

Jatna Supriatna merupakan ilmuwan biologi sekaligus legenda konservasi Indonesia. Siapa yang tidak kenal namanya?

Tulisannya tentang keanekaragaman hayati selalu dijadikan rujukan. Pemikiran presiden South East Asia Primatologist Association 2006 ini tentang alam Indonesia selalu dinantikan. Dengan bahasa yang lugas dan bernas, Jatna selalu menekankan kepada kita betapa pentingnya menghargai alam.

Indonesia misalnya, merupakan negara yang memiliki kepulauan lebih dari 17 ribu pulau. Bukan itu saja, luas Indonesia yang hanya 1,3 persen dari luasan dunia nyatanya begitu penting, karena Indonesia merupakan lumbungnya keragaman hayati dunia yang ada di daratan maupun lautan. Dengan menjaga kelestarian alam Indonesia dipastikan juga kita turut menjaga kelestarian alam raya.

Bagaimana pandangan mantan Regional Vice President dan Executive Director CI Indonesia ini tentang konservasi alam Indonesia dan pengelolaannya?

Berikut petikan wawancara Mongabay Indonesia dengan penulis buku “Berwisata Alam di Taman Nasional” ini di ruang kerjanya, Gedung Research Center Climate Change Universitas Indonesia, Depok.

 

Mongabay: Indonesia dikenal sebagai negara mega-biodiversity, bisa dijelaskan?

Jatna: Kita merupakan negara yang memiliki anugerah kekayaan dari keanekaragaman hayati (biodiversity) Asia dan Australia. Biodiversity Asia dapat kita lihat di Sundaland: Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Biodiversity Australia dapat kita lihat di Papua. Sedangkan biodiversity yang merupakan percampuran Asia dan Australia dapat kita lihat di Wallacea yaitu Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.

Bisa kita bayangkan, Sulawesi yang merupakan wilayah “percampuran” itu sebanyak 70 persen keragaman hayatinya merupakan endemik/khas. Jadi, Indonesia memang sangat kaya sekali akan biodiversity.

Jika ditanya negara mana yang terkaya di dunia ini, jawabannya adalah antara Indonesia dan Brasil. Karena, dua negara ini memiiki spesies yang hampir sama dari segi jumlah maupun endemisitas. Mungkin, Indonesia lebih banyak biodiversity yang endemik ketimbang Brasil, meski Brasil sangat kaya dan luas hutannya tujuh kali lipat dari hutan Indonesia.

Namun, bila biodiversity Indonesia digabung dengan sektor laut maka Indonesia jauh lebih kaya ketimbang Brasil. Karena, kita memiliki panjang garis pantai sejauh 81 ribu kilometer yang tidak dimiliki Brasil. Oleh karena itu, harusnya pembangunan negara kita ini ditekankan pada kelimpahan biodiversity yang kita miliki. Bukan dari bentuk fisik yang terlihat saja seperti emas atau batubara.

Bila sumber daya alam tersebut dikelola dengan baik dan bijak maka rakyat Indonesia akan kaya dan alamnya lestari. Sayang, decision maker di negara kita sejak dulu sangat “rakus” dan mungkin juga pengetahuan tentang sumber daya alamnya sangat terbatas. Sehingga, nilai kayu selalu dianggap lebih tinggi ketimbang biodiversity yang begitu potensial.

Mongabay: Artinya, kayu, emas, batubara saja yang dipandang sebagai kekayaan Indonesia. Sementara, potensi  Indonesia yang memiliki sekitar 25 persen jenis ikan di dunia, 17 persen burung di dunia, 16 persen reptilia dan amfibia di dunia, hingga 10 persen tumbuhan berbunga  belum dilirik sama sekali?

Jatna: Memang belum. Karena kita masih berkutat pada kayu, emas, dan batubara tadi. Padahal, biodiversity ini bisa dikelola untuk potensi wisata. Wisata kita juga masih seputar wisata budaya dengan tujuan utama Bali dan Toraja yang tentunya belum menyentuh biodiversity. Misalnya, mengapa Australia mampu memberdayakan wisata dari sektor diving padahal dari segi endemisitas dan keragaman hayati kalah jauh dari Indonesia. Ini dikarenakan, Indonesia belum memaksimalkan potensi biodiversity yang ada, baik dari mengoptimalkan potensi  hingga mengemasnya agar wisatawan tertarik untuk berkunjung. Ini masalahnya.

Mongabay: Atau, kita memang belum bangga?

Jatna: Pengetahuan kita juga memang belum sampai ke sana. Contoh, dari 20 pengembang diving yang ada di Indonesia, 19 pengembang berasal dari luar, hanya 1 saja dari Indonesia. Artinya, kita baru sekadar melihat potensi tanpa pernah melihat pasar. Sumber daya manusia kita masih lemah.

Kita juga belum bisa mengembangkan wisata alam ke taman nasional. Contoh, Gunung Gede Pangrango atau Gunung Halimun Salak yang dekat Jakarta saja tidak tersentuh. Padahal ini sangat potensial sekali untuk wisata alam.

Saat di Amerika, tiap minggu saya camping guna menikmati keindahan alam. Biayanya juga tidak murah sekitar 12-15 dollar. Nah, nilai biodiversity ini yang belum dirasakan masyarakat kita.

Sampai saat ini, kita masih saja bicara tentang sumber daya dan potensi yang sayangnya tidak dikerjakan. Jadinya, masyarakat tidak aware dengan kehidupan alam yang menarik.

Mindset kita harus dirubah yaitu dengan menempatkan “value” atau adanya nilai yang lebih tinggi dengan adanya biodiversity yang kita miliki ketimbang mengambilnya. Misal, di Amerika, pendapatan dari wisata birdwatching bisa mencapai jutaan dollar. Kenapa bisa? Karena, pengelolaannya dilakukan dengan baik. Indonesia, padahal memiliki ragam burung yang menarik seperti jalak bali yang hanya ada di Bali. Bayangkan pula, di Ujung Kulon kita punya badak, di Lampung ada gajah, dan harimau. Namun, potensi ini belum dikelola dengan baik.

Bila kita lihat nawa cita yang diusung Jokowi untuk meningkatkan pendapatan pariwisata dari 100 triliun menjadi 400 triliun dari sektor wisata, sepertinya tidak akan tercapai bila hanya mengandalkan Bali semata. Tanpa mengembangkan wisata alam, tidak akan tercapai target tersebut.

Untuk membanggakan biodiversity, kita jangan lagi berdakwah pada masyarakat. Harusnya kepada decision maker seperti para bupati atau gubernur yang memberi izin usaha di daerah atau para pengusaha yang punya banyak uang untuk mengelola pariwisata alam dengan baik.

Buku “Berwisata Alam di Taman Nasional” mengupas betapa pentingnya wisata alam yang selama ini terabaikan dan sepi peminat di Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad

 

Mongabay: Dari awal dijelaskan, Indonesia memiiliki kekayaan alam yang luar biasa. Apakah kita bisa menjadi makmur? Sementara negara yang sedikit sumber daya alamnya seperti Korea dan Jepang bisa menjadi negara hebat!

Jatna: Amerika merupakan negara kaya sekaligus penduduknya kaya. Sementara Singapura, Korea, Jepang bisa menjadi kaya karena mengembangkan sumber daya manusianya.

Seharusnya, kita mencontoh Amerika. Siapa saja yang pintar mereka akan welcome. Saya tahu persis karena lama di sana. Orang pintar dari Asia dan berbagai belahan dunia “disedot” agar betah untuk tidak pulang. Karena, Amerika melihat potensi pengembangan manusia dan alamnya.

Contohnya, taman nasional itu berasal dari Amerika, bukan dari manapun. Sejak 1872 mereka telah mengembangkan Taman Nasional Yellowstone dan selanjutnya Grand Canyon (1919) yang semuanya itu memberikan nilai lebih kepada masyarakat yaitu berupa tourism.

Bila kita lihat tujuan didirikannya taman nasional adalah untuk menunjukkan kecintaan pada alam. Nah, di masyarakat kita, alam dipersepsikan sesuatu yang menakutkan seperti tempat jin buang anak atau tempat angker.

Derajat kecintaan kita pada alam masih sangat rendah. Agar meningkat harus dilakukan melalui jalur pendidikan. Mulai SD, SMP, SMA harus diajarkan tentang alam, sesuai konten lokal masing-masing. Misal, untuk Jawa, maka yang harus diceritakan adalah satwa yang ada di Jawa seperti owa jawa atau lutung jawa yang tentunya lebih menarik ketimbang cerita singa yang habitatnya tidak ada.

Pendidikan ini pun bisa dilakukan formal maupun nonformal. Dengan begitu, kecintaan terhadap alam akan meningkat. Jadi, nantinya tidak perlu dipaksa dengan undang-undang.

Mongabay: Perlukah keragaman hayati kita dibuat peta berbentuk Key Biodiversity Area (KBA)?

Jatna: Ini sudah dilakukan dan sifatnya scientifik sekali seperti Important Bird Area (IBA) untuk burung yang kepentingannya ditujukan untuk para peneliti atau ilmuwan.

Peta ini dapat ditunjukkan kepada pemerintah atau decision maker terkait potensi keragaman hatai Indonesia. Bila potensi tersebut hancur atau dihancurkan maka sama saja menghancurkan “value” yang ada di alam yang bila dikembangkan nilainya jauh lebih besar ketimbang yang akan dibuat. Semacam pilihan lah, dan untuk menunjukkan kepada pemerintah: ini taman nasional atau ini kawasan konservasi yang tidak sembarang boleh dilakukan pembangunan.

Sebagai contoh, nilai studi yang dilakukan antara sawit dengan konservasi hutan tropis menunjukkan bahwa hutan tropis yang kita jaga nilainya jauh melebihi perkebunan sawit. Hanya saja, sampai saat ini, hutan tropis yang selalu dinilai hanya kayunya saja, sehingga nilainya kalah dengan sawit yang mencapai 1.000 dollar/hektar/tahun.

Padahal, bila potensi hutan tropis dilihat keseluruhan maka harganya jauh lebih tinggi dan bermanfaat ketimbang kelapa sawit. Hutan tropis tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi ada produk non kayu hingga keragaman hayati yang terkandung di dalamnya.

Landskap Taman Nasional Alas Purwo. Foto: Asep Ayat
Landskap Taman Nasional Alas Purwo. Foto: Asep Ayat

 

Mongabay: Pemerintah Indonesia menargetkan adanya peningkatan 10 persen populasi 25 spesies terancam punah. Akankah berhasil sebagaimana India yang dapat meningkatkan populasi harimau sebesar 30 persen?

Jatna: Kita harus respek dengan India, mereka serius dengan penegakan hukumnya dan menjadikan peningkatan populasi harimau sebagai prioritas. Pemerintah India benar-benar mendukung kegiatan konservasi tersebut terhadap peningkatan populasi spesies kharismatik seperti harimau.

Spesies kharismatik memang harus kita lestarikan karena memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Katakan saja, untuk harimau yang memiliki wilayah jelajah hingga 20 ribu hektar, maka dengan menyelamatkan seekor harimau otomatis keberagaman satwa yang ada di wilayah tersebut akan hidup dan ada. Karena, selain sebagai spesies kharismatik, harimau juga merupakan spesies kunci.

Bila pemerintah ingin menaikkan sepuluh persen populasi bisa saja. Tapi harus benar-benar dilakukan, jangan hanya bikin target tetapi tidak ada pencapaiannya. Sistem manajemen harus dirubah. I will do it harus dirubah menjadi we will do it. Seluruh pihak harus diajak. Di sini harus ditegaskan, bila hanya pemerintah saja yang menargetkan tanpa melibatkan seluruh komponen masyarakat dipastikan tidak akan tercapai. Jangan lupakan pula penegakan hukum yang harus dilakukan.

Mongabay: Kaitannya dengan perdagangan satwa, apakah terjadi karena tidak adanya penegakan hukum tersebut? Atau karena memang ada pasarnya?

Jatna: Kita selalu datang dalam keadaaan tertekan. Ketika perdagangan marak baru dilakukan pencegahan. Kita belum memiliki manajeman yang baik.

Di beberapa negara yang manajemennya sudah bagus, dalam pengelolaan sebuah taman nasional akan diterapkan Key Performance Indicator (KPI) yang dijadikan sebagai indikator kerja. Dengan pola itu, inisiatif bekerja menjadi tinggi. Tidak menunggu perintah. Di negara kita, ini kendalanya. Saat tidak ada dana operasi, segala kegiatan terhenti, termasuk pemantauan perdagangan ilegal.

Bila ingin maju maka harus ada KPI, hukum yang mengatur, dan keuangan yang jelas; berapa banyak dan apa saja kegiatannya. Kita juga harus belajar dari negara lain yang sukses melakukan konservasi. Afrika Selatan misalnya. Mereka bangga memiliki “Ranger” karena pendapatan negara mereka yang besar berasal dari tourism. Sehingga, menjaga kelestarian alam merupakan kebanggaan.

Ratu dan Andatu, dua ekor badak di Suaka Rhino Sumatera sedang menikmati makan siang tambahan. Foto: Haerudin R. Sadjudin/ YABI

 

Mongabay: Bagaimana dengan deforestasi, mengapa Brasil bila menekan laju deforestasi tetapi di Indonesia masih tinggi?

Jatna: Brasil memiliki sistem yang baik. Kita harus belajar dengan Brasil.

Kendala negara kita adalah pemerintah daerah kita masih berorientasi pada kelapa sawit. Saya tidak bisa membayangkan andai harga sawit jatuh dan tidak bangkit lagi. Kita harus ingat, dulu saat harga cengkih bagus, semua orang menanam. Begitu harganya anjlok langsung ditinggalkan.

Memang, saat ini sawit merupakan komoditi terbagus. Tetapi seiring waktu, sawit akan menghancurkan biodiversity dan lingkungan sekitar.

Terkait sawit, kita harusnya membuat kejelasan, mana daerah yang bisa ditanam dan mana yang tidak. Sudah terlalu banyak kebun sawit. Sekarang ini, kebun sawit sudah lebih dari 10 juta hektar luasnya. Nah, 10 juta hektar itu sebanding dengan Pulau Jawa, bayangkan!

Ekonomi kita tidak akan sehat bila hanya menggantungkan pada satu komoditi saja yaitu sawit. Bila komoditi itu hancur maka kita hancur juga. Selama kita pro kelapa sawit maka deforestasi akan tetap tinggi. Kenapa? Karena, perusahaan sawit ini akan terus memotong kayu alami untuk perluasan wilayahnya. Menurut saya, sawit sudah terlalu jenuh dan terlalu riskan untuk diteruskan.

Yang harus dilakukan adalah keragaman hayati yang kita miliki harus dikembangkan. Banyak komoditi akan lebih baik ketimbang satu. Dengan begitu, kita tidak akan bergantung pada produk tersebut mulai dari pupuk hingga pembasmi hama.

Amerika saja, produk yang dikembangkan mulai jagung, kacang kedelai, dan macam-macam. Nah, kita kok bersikukuh dengan sawit.

Berikutnya, jangan membuat perencanaan yang tidak sustainable atau yang tidak ada keberlanjutannya.

 

Hutan Indonesia yang begitu kaya akan keanekaragaman hayati. Foto: Rhett Butler

Mongabay: Yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi sekarang?

Jatna: Pemerintah sekarang, jangan hanya berorientasi menciptakan sawah, tetapi juga harus mengoptimalkan sawah yang ada. Maksudnya di sini adalah sawah kan perlu pengairan air, nah, air ini akan terus mengalir andai hutan yang ada tetap terjaga jelestariannya. Artinya, hutan yang ada terus dipertahankan, deforestasi diturunkan, dan daerah yang belum berhutan dihutankan kembali. Inilah pemikiran menyeluruh yang harus dilakukan.

Terkait pengembangan sektor kelautan yang sekarang digalakkan, tentu saja sangat baik karena lahan pertanian kita terbatas. Karena itu, potensi laut kita yang luar biasa harus dikembangkan lagi mulai dari ikan, terumbu karang, hingga wisata diving dan industri kreatif.

Saya ingatkan bahwa biodiversity itu merupakan green gold atau emas hijau yang potensinya melebihi emas murni. Contoh konkrit adalah, satu komoditi tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat saja akan menghasilkan nilai jutaan hingga miliaran rupiah. Ini baru satu komoditi. Bayangkan, di hutan  Indonesia ada sekitar 30-40 ribu spesies tumbuhan. Andai, potensi tersebut dapat dikembangkan untuk produk industri, makanan, hingga obat-obatan, maka akan banyak sekali uang yang kita hasilkan tanpa harus merusak alam. Produk apa yang akan dihasilkan, mari kita pikirkan!

Presentasi Jatna Supriatna saat peluncuran buku "Berwisata Alam di Taman Nasional" pada   awal September 2014.
Presentasi Jatna Supriatna saat peluncuran buku “Berwisata Alam di Taman Nasional” pada awal September 2014
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,