,

Saat Haris Si Gajah Hilang Dipulangkan ke Habitat Semula

Hampir pada saat bersamaan dengan peristiwa mengenaskan tentang kematian dua gajah sumatera di Jambi, seekor gajah liar akhirnya ditranslokasikan ke lokasi yang lebih aman. Setelah lebih dari dua bulan terpisah dari kelompoknya, seekor gajah jantan yang diberi nama Haris akhirnya dapat dikembalikan ke habitatnya. Sebelumnya Haris sempat terisolir di daerah perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Keberadaan Haris sempat menimbulkan konflik yang menyebabkan satu warga Desa Pematang Pauh, Kecamatan Tungkal Ulu, Tanjung Jabung Barat meninggal dunia bulan lalu.

Rencananya gajah liar ini akan ditranslokasi ke kawasan hutan di eks-HPH Dalek Hutani Esa di Kabupaten Tebo, Jambi. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi  bekerjasama dengan Balai Besar KSDA Riau, Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Forum Mahout, Veterinary Society for Sumatran Wildlife (Vesswic), World Wildlife Fund (WWF), Frankfurt Zoological Society (FZS) serta didukung PT Sinar Mas, PT Lestari Asri Jaya,  dan perusahaan perkebunan lainnya.

Sehari sebelum ditranslokasi gajah jantan yang diberi nama Haris ini dipasang GPS Collar (alat pelacak satelit) untuk mengetahui posisi keberadaannya. Dari hasil pemeriksaan fisik, Haris memiliki berat badan mencapai 1,68 ton, panjang gading 26 cm, dan usianya diperkirakan 10 tahun.

Translokasi Haris dilakukan pada hari Minggu (16/11) pukul 13.00 WIB. Proses translokasi Haris dilakukan dengan sangat hati-hati. Pemindahan gajah liar ini menggunakan bantuan seekor gajah jinak yang didatangkan dari Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.

Sepanjang proses tersebut Haris dibius untuk selalu dalam posisi setengah sadar. Gajah jinak bernama Indro dari TNTN  terus memandu Haris mulai dari dalam hutan, menyusuri jalan perkebunan, hingga masuk ke dalam truk.

Kegiatan ini menyita perhatian masyarakat. Kerumunan warga terlihat di truk yang digunakan untuk mengangkut gajah. Gajah Haris dan Indro berhasil keluar dari kebun warga dan siap diberangkatkan dari Lubuk Lawas sekitar pukul 18.00 untuk menuju lokasi pelepasan yang berjarak sekitar 90 km jauhnya di Kabupaten Tebo. Proses pelepasan di kawasan eks-HPH Dalek Esa Hutani selesai dilakukan pada pukul 06.00 keesokan harinya.

Proses penggiringan Haris saat memasuki kebun sawit. Foto: Andreas Sarwono/FKGI
Proses penggiringan Haris saat memasuki kebun sawit. Foto: Andreas Sarwono/FKGI

Habitat Gajah Terus Berkurang

Gajah liar ini diduga kuat berasal dari kelompok gajah yang berada di eks-HPH Dalek Hutani Esa. Gajah jantan muda berusia 15 tahun itu memiliki sifat memisahkan diri dari kelompoknya untuk mencari daerah jelajah baru. Pembukaan hutan dilakukan secara besar-besaran menyebabkan habitat gajah berkurang drastis dan memutus jalur pertemuan antar-kelompok gajah.

Ketua FKGI Krismanko Padang menyatakan rusaknya habitat gajah d Jambi akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan tambang memicu peningkatan konflik gajah manusia dan menjadi ancaman serius bagi kelestarian gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus).

“Saat ini habitat gajah di Jambi 80 persen telah hilang dan hanya tersisa di kawasan eks Dalek. Kawasan hutan ini memiliki tutupan yang cukup baik, namun luasannya tentu tidak mencukupi untuk menampung seluruh populasi gajah Jambi, “ ujar dia.

Karena itu, selain penetapan kawasan eks Dalek Esa Hutani sebagai daerah konservasi perlu dibentuk koridor gajah sebagai jalur penghubung antar-kelompok gajah.

Ketua Forum Mahout Nazarudin menegaskan translokasi gajah hanyalah langkah pendek dalam upaya pelestarian gajah sumatera. Pemerintah perlu segera untuk menetapkan kawasan konervasi gajah di setiap kelompok gajah yang masih ada.

“Kita seringkali menghitung kerugian akibat konflik gajah dari sisi manusia. Jumlah tanaman yang rusak, pondok yang hancur, tetapi tidak pernah menghitung berapa kerugian yang diakibatkan bila satu ekor gajah mati. Tanpa ada penetapan kawasan konservasi gajah maka yang kita lakukan saat ini hanya memperlambat laju kepunahannya saja,” tegas Nazarudin.

Dengan melindungi habitat gajah sebagai binatang darat terbesar maka kelestarian hutan akan  bermanfaat juga bagi kelangsungan hidup satwa lainnya. Alih fungsi hutan yang tak terkendali selama ini telah menyebabkan berbagai bencana lingkungan seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, dan kabut asap yang kerugiannya mencapai triliunan rupiah.

Kepala Seksi Konservasi III BKSDA Jambi Faried, Sp mengakui bahwa translokasi gajah terbilang lamban. “Kegiatan translokasi adalah kegiatan besar yang membutuhkan perlakuan khusus karena yang dipindahkan adalah satwa besar yang dilindungi. Kebutuhan dananya juga besar sehingga butuh waktu untuk mengumpulkan dana. Pemeritah Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan perusahaan lokal sampai saat ini belum memberikan kontribusi dana,” ujar dia. Pasca translokasi, BKSDA Jambi dan FZS akan melakukan monitoring pergerakan Haris selama dua bulan untuk mengantisipasi terjadinya konflik kembali.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,