Jika ada pihak mengatasnamakan PRMN yang memeras, menipu dan melanggar kode etik, sampaikan pengaduan pada kami.

Pilkada Bekasi, Ketika Popularitas tidak Sejalan dengan Elektabilitas

- 24 Februari 2017, 08:40 WIB
RIBUAN pendukung mengantar pasangan Sa'dudin-Ahmad Dhani mendaftar sebagai pasangan calon pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bekasi 2017, beberapa waktu lalu. Dengan modal popularitas tinggi, sayangnya pasangan ini gagal mendapat suara terbanyak. *
RIBUAN pendukung mengantar pasangan Sa'dudin-Ahmad Dhani mendaftar sebagai pasangan calon pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bekasi 2017, beberapa waktu lalu. Dengan modal popularitas tinggi, sayangnya pasangan ini gagal mendapat suara terbanyak. *

CIKARANG, (PR).- Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bekasi 2017 telah memasuki penghujung tahapan. Berdasarkan hasil rekapitulasi, pasangan Neneng Hasanah Yasin-Eka Suria Atmaja meraih suara tertinggi dengan persentase 39,82%. Kandidat petahana itu sukses mengalahkan popularitas musisi Ahmad Dhani yang maju mendampingi mantan bupati, Sa’dudin. Selain persoalan popularitas, terdapat sejumlah catatan lain terkait penyelenggaraan Pilkada Bekasi ini. Masyarakat Kabupaten Bekasi tidak lagi mudah diarahkan untuk memilih pasangan, namun di samping itu, rendahnya partisipasi kini justru tidak hanya terjadi pada masyarakat perkotaan tapi juga di pedesaan. Pengamat politik dan pemerintahan Unversitas Islam 45 Bekasi Harun Alrasyid mengatakan, teori yang menyatakan popularitas berbanding lurus dengan elektabilitas rupanya tidak terjadi di Kabupaten Bekasi. Manuver mendatangkan musisi Ahmad Dhani mampu mendongkrak perolehan suara. Meski dikenal banyak oleh masyarakat, popularitas Ahmad Dhani tetap dihadapkan dengan petahana Neneng juga cukup dikenal. “Fenomena artis untuk meraup suara rupanya tidak terjadi di Kabupaten Bekasi. Di satu sisi Ahmad Dhani dikenal tapi ada petahana Neneng pun sudah banyak diketahui oleh masyarakat karena sudah bekerja selama lima tahun. Di sini ada perbedaan dari dua kandidat ini, yakni keterikatan dengan masyarakat,” kata Harun saat dihubungi PR, Jumat, 24 Februari 2017. Menurut dia, faktor pembeda ini yang berpengaruh signifikan pada perolehan suara. Meskipun Dhani dikenal, kata Harun, namun tidak mampu memberi rasa kedekatan dengan masyarakat. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Dhani lebih banyak tampil pada isu nasional di Jakarta daripada membangun kedekatan di Bekasi. “Yang tidak dimiliki itu political engagement, mereka tidak mampu mengikat para pemilih secara politik. Masyarakat pun rupanya tidak merasa ada keterikatan secara emosional dengan kandidat sehingga suara tidak mampu diraup secara maksimal. Di sisi lain, lawan yang dihadapi itu petahana yang sudah mengetahui karakteristik masyarakat Kabupaten Bekasi seperti apa,” kata dia. Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU, pasangan Neneng-Eka berhasil unggul jauh dengan 471.585 suara atau 39,82%. Sedangkan, Sa’dudin-Ahmad Dhani menduduki peringkat kedua dengan 309.401 suara atau 26,13%. “Catatan lain lagi yakni bisa dilihat jika masyarakat kini tidak bisa lagi diarahkan. Mereka memilih berdasarkan tokoh namun tidak hanya yang terkenal,” kata dia. Selain persoalan popularitas, rendahnya tingkat partisipasi masyarakat menjadi catatan. Dari jumlah 1.974.831 pemilih, hanya 1.184.250 orang yang menggunakan hak pilihnya atau 61%. Namun, Harun menilai rendahnya partisipan bukan semata persoalan sosialisasi. Dengan jumlah kandidat mencapai lima pasangan calon, ditambah seorang artis, seharusnya minat masyarakat untuk mencoblos itu meningkat. Namun, menurut dia, ada kepercayaan yang cenderung menurun dari masyarakat kepada lembaga politik. “Kalau saya melihat ini menjadi pekerjaan rumah bagi partai politik untuk kembali meraup kepercayaan dari masyarakat. Turunnya partisipasi masyarakat karena kurangnya pendekatan parpol kepada pemilih,” kata dia. Kondisi ini terlihat dari meluasnya angka penurunan partisipasi. Tidak hanya masyarakat perkotaan namun juga pedesaan. “Saya mencatat di Kecamatan Sukakarya dan Sukatani di mana mayoritasnya petani. Sudah diketahui bahwa masyarakat pedesaan merupakan lahan partai politik untuk meraup dukungan. Namun rupanya mereka pun partisipasinya rendah. Maka saya menilai ini menjadi catatan bagi partai politik,” kata dia. Hal senada diungkapkan pakar komunikasi politik Lingkar Kajian Komunikasi dan Politik Universitas Komputer Indoneisa, Adiyana Slamet. Menurut Adi, penyelenggaraan pilkada serentak 2017 di Jawa Barat umumnya masih terkendala pada pragmatisme para pemilih. Pendidikan politik yang rendah membuat proses pemilihan tidak rasional. “Pendidikan politik di masyarakat masih pragmatis. Mereka masih melihat siapa yang lebih banyak memberi atau yang ramai. Saya melihat harus ada perubahan konsep pendekatan politik dari partai itu sendiri,” kata dia. Sedangkan terkait popularitas calon, Adi menilai, kondisi pilkada Bekasi pilkada di Kota Tasikmalaya. Dua kandidat dari para pesohor gagal meraih kemenangan. Menurut Adi, hal tersebut diakibatkan karena gagalnya mereka menyulap tingginya popularitas menjadi elektabilitas. “Kesamaan lain yakni Ahmad Dhani di Bekasi sama dengan Dicky Chandra di Tasikmalaya yang sama-sama melawan petahana. Persoalannya, program mereka tidak menonjol sehingga kembali dilibas petahana itu sendiri. Di Bekasi sendiri saya lihat, kandidatnya justru terlibat di DKI Jakarta yang menurut saya itu blunder. Selain soal minimnya partisipasi masyarakat, perolehan suara public figureini menjadi dua hal yang menarik,” kata dia.***

Editor: Tommi Andryandy


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

Pikiran Rakyat Media Network

x